Monday, June 29, 2009

Profesionalisme dan pertemanan ...
Ternyata sulit juga mempercayai seorang teman (baca: kolega) yang dulu pernah 1 kantor dan kini menjadi rekanan bisnis. Kadang harus berani mengatakan tidak karena di saat kita harus bersikap profesional maka yang muncul adalah ya dan atau tidak. Saya merintis pekerjaan sejak lulus LPP tahun 1990, waktu itu kerja di Perkebunan Teh Citalahab Sukabumi, dan kini di tempat lain pun seiring dengan karir yang berubah maka saya bisa mencari rekanan bisnis sendiri. Alhasil karena atas dasar network pekerjaan sebelumnya dan keinginan agar dapat harga murah dengan mutu bagus, maka dulu pernah dapat rekanan baru yang benar-benar murah. Namun dalam perjalanan hari, ternyata saya harus menilai dengan obyektif semua yang menjadi partner bisnis di kantor. Seperti halnya saat saya memilih rekanan untuk urusan yang kecil-kecil di pabrik, saya sekarang harus tegas bahwa "friend is just friend, business is to be proffesional". Akhirnya saya harus bilang NO WAY dan profesionalisme itu tetap harus dijaga.

Tuesday, June 16, 2009

Politik organisasi, siapa kalah siapa menang ?

Saya tergelitik untuk posting tulisan ini setelah membaca berita BUMN yang sering gonta-ganti personil.
 
Ternyata berada di lingkungan dan tempat kerja baru tidak selamanya membuat seseorang stres. Justru karena teknologi lah yang membuat manusia tidak merasa jauh karena kehadiran internet dan teknologi komunikasi semakin membuat manusia tidak merasa kesepian. Di tempat kerja baru ini relatif tidak ada gejolak politik organisasi yang kasar dan saling sikut-sikutan. Saya sebagai petinggi di bidang HRD dan GA memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua karyawan untuk berprestasi dan secara alamiah mereka juga saya biarkan mencari jati diri. Ini mungkin salah satu ciri kepemimpinan saya yaitu demokratis karena kompetisi berlangsung secara fair. Jika ada karyawan menonjol maka saya akan hargai dengan pemberian reward baik ucapan atau angka. Sedangkan jika ada yang kurang menonjol maka saya persilakan mereka mencari solusi karena mekanisme di HRD dan GA ada proses pelatihan dan pengembangan. Tidak seperti yang terjadi di tempat lain, bisa jadi seorang atasan terlalu berani mencanangkan persaingan politik untuk berebut pengaruh dan prestasi namun mengesampingkan kinerja departemen atau diri sendiri. Pernah terjadi seorang pemimpin karena atas dasar sentimen dan merasa pinter maka berusaha menjegal koleganya sendiri atau menjelek-jelekkan kolega di depan forum. Yang lebih konyol lagi jika seorang pemimpin mempunyai power maka abuse of authority itu akan terjadi. Mending kalau si owner bisa dibohongi dengan kebijakan pimpinan di bawahnya maka abuse of authority itu dapat berjalan mulus. Namun Tuhan itu adil, siapa berbuat pasti akan menerima akibatnya. Boleh jadi orang getol ikut pelatihan kepemimpinan. Tapi tidak ada jaminan bahwa pelatihan yang dialami pekerja dapat merubah perilaku dengan cepat, saya kok percaya ya bahwa sifat manusia itu lama berubah.
 
Saya cuma bertanya apakah kita cukup malu jika abuse of authority kita ketahuan dan politik murahan dalam organisasi berakhir dengan mutasi walaupun masih dalam grup perusahaan ? Ini pernah terjadi di perusahaan saya bekerja saat ini, mutasi itu ternyata belum tentu kebaikan bagi karyawan. Tapi sebuah perusahaan yang dewasa tentu juga tidak ingin memecat karyawan yang sudah punya anak istri. Solusi yang diberi biasanya berlatar belakang kemanusiaan. Maklum hari gini nyari kerja susah. Dulu saya pernah nyombong mau diterima kerja dengan gaji 80 juta, tapi njawab 1 pertanyaan dasar saja tidak bisa :-) malu lah sama teman-teman di kantor. Jika saya diberi promosi atau mutasi namun sudah jelas semua orang mengakui itu sebagai buangan maka saya akan segera pindah atau nyari kerja lain. Karena yang saya sandang bukannya promosinya, tapi saya sudah kalah dalam politik organisasi. Ibarat partai, karena kalah dalam pemilihan, maka sah-sah saja saya pindah partai. Gaji bukan segalanya, saya pun punya anak buah yang sekarang jadi big boss. Tapi saya tidak pernah meremehkan dia karena dia bukan siapa-siapa saya lagi, yang ada saya harus mengatakan "si anu itu hebat apalagi setelah pindah dari sini" dan bukan mengatakan "alahh.. si anu itu cuman segini, saya tahu dia, kecil mah".
Ya beginilah, kalah berpolitik banyak orang semakin gila. Tidak di pemerintah, tapi di perusahaan juga sama. Cuma bedanya ada yang kepepet harus tetap tegar tapi orang lain sebagai penonton mentertawakan selamanya apalagi musuh-musuhnya yang berada di atas angin.